5 Fakta Menarik Terkait Gizi dari Dokter Gizi, Jangan Sampai Ketinggalan!
Diet tidak sesederhana mengurangi jumlah asupan sehari-hari. Hal ini dikarenakan tidak semua jenis diet dapat diterapkan pada setiap individu mengingat kebutuhan gizi mereka berbeda-beda.
Program diet yang tidak tepat justru berisiko membuat tubuh kekurangan gizi yang umumnya ditandai dengan rasa lemas, lelah, turunnya produktivitas sehari-hari, hingga gangguan suasana hati.
Informasi ini dijelaskan secara lengkap oleh dr. Karin Wiradarma, M.Gizi, Sp.GK ketika menjadi bintang tamu di podcast Raditya Dika. Berikut hal-hal menarik terkait gizi yang disampaikan di dalam videonya.
1. Ternyata Makan Malam Tidak Selalu Bikin Gemuk
Karin Wiradarma, Sp. GK yang merupakan dokter spesialis gizi klinik menjelaskan bahwa makan malam tidak selalu memicu kenaikan berat badan/kegemukan. Hal ini berkaitan dengan jenis diet yang dijalani
Untuk keperluan menurunkan berat badan, perlu dipastikan terlebih dahulu apakah orang tersebut termasuk tipe small frequent feeding (makan dengan porsi kecil namun sering, termasuk di malam hari) atau lebih cocok dengan intermittent fasting (jam makan dibatasi tanpa makan malam).
Pasalnya, seseorang yang tidak cocok dengan metode intermittent fasting tetap berpotensi mengalami kenaikan berat badan meski tidak memiliki jadwal makan malam.
2. Konsumsi Gula Diperbolehkan Asalkan Tidak Berlebihan
Konsumsi gula atau asupan manis sebetulnya boleh-boleh saja selama tidak berlebihan. Kemenkes menganjurkan asupan gula harian dibatasi sebanyak 50 gram (4 sendok makan) per hari.
Meski begitu, dr. Karin Wiradarma, Sp. GK menyampaikan bahwa kebutuhan asupan gula setiap orang juga dapat berbeda-beda karena dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti HbA1c, gula darah puasa, gula darah 2 jam setelah makan, dan lain-lainnya.
3. Memanaskan Makanan dapat Mengurangi Gizinya
“Kalau di-reheat berkali-kali (makanan) memang tidak bisa dipungkiri ada vitamin dan mineral (zat gizi) yang bisa berkurang,” ujar dr. Karin.
Namun, hal ini dikatakan tidak terlalu signifikan apabila dibandingkan dengan kepraktisan yang dibutuhkan. Adapun hal yang perlu diperhatikan adalah wadah yang digunakan saat memanaskan makanan.
Pasalnya, wadah tertentu, seperti plastik, diketahui tidak diperuntukkan untuk memanaskan makanan dengan suhu tinggi karena berisiko melepaskan bahan kimia berbahaya ke makanan.
4. Produk Berlabel BPA Free Tidak Selalu Lebih Aman
Karin menyebutkan bahwa produk dengan label BPA Free tidak selalu lebih aman dari produk lainnya. Mengapa begitu? Meski tidak mengandung Bisphenol A, produk BPA Free tetap berpotensi mengandung bahan kimia lainnya.
Disampaikan pula oleh dr. Karin bahwa BPA (Bisphenol A) memang bahan kimia yang berbahaya apabila berdiri sendiri. Namun, ketika diolah menjadi plastik (seperti pada galon air atau wadah pangan), kandungannya tergolong aman karena telah melalui serangkaian proses.
BPOM sebetulnya telah menetapkan batas aman migrasi BPA pada kemasan pangan yaitu tidak lebih dari 0,6 bpj atau 600 mikrogram/kg. dr. Karin juga menyampaikan bahwa menurut penelitian, kandungan BPA yang dikonsumsi masyarakat masih jauh di bawah ambang batas aman yang ditetapkan.
5. BPA Juga Ditemukan pada Makanan Kaleng
Dilansir dari buku How to Understand BPA Information Correctly, kandungan BPA tinggi ditemukan pada makanan kaleng.
BPA sendiri berfungsi sebagai pelapis kaleng yang melindungi kontak langsung dengan makanan yang dapat memicu korosi dan karat.
Untuk meminimalkan potensi migrasi BPA, dr. Karin memberikan sejumlah tips yang dapat diterapkan, yaitu:
- Pastikan makanan kemasan kaleng jauh dari tanggal kedaluwarsa untuk meminimalkan waktu kontaknya.
- Pastikan kemasannya dalam keadaan baik, tidak rusak, penyok, atau tergores.
- Untuk wadah plastik, hindari merebus atau memanaskan wadah di suhu tinggi khususnya jika memang tidak diperuntukkan untuk suhu di atas 70 derajat.
Itulah beberapa informasi penting yang disampaikan oleh dr. Karin di akun YouTube Raditya Dika. Diharapkan hal ini dapat meningkatkan kesadaran terhadap kebutuhan gizi dan nutrisi dari masing-masing individu untuk penerapan hidup sehat yang lebih optimal.